Masayarakat Indonesia Menolak AFTA 2015



KEINGINAN negara-negara ASEAN untuk mempercepat proses pencapaian AFTA (Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN) telah dilakukan sejak KTT V ASEAN pada 14-15 Desember 1995 di Bangkok. Pada KTT VI ASEAN di Hanoi (1998) disepakati ke-6 negara ASEAN (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand) untuk mempercepat pencapaian AFTA dari tahun 2002 menjadi 2003.


Dalam rangka mempercepat proses pencapaian AFTA tersebut ada langkah-langkah yang perlu dilakukan, yaitu pencapaian tarif 0-5 persen sebesar 85 persen dari Inclusion List (IL) 2000, 90 persen dari IL 2001, dan 100 persen dari IL di 2002 dengan fleksibilitas. Langkah tersebut dikenal dengan nama Bold Measures. Di samping itu dilakukan juga pemindahan produk Temporary Exlusion List (TEL) ke IL, mengurangi daftar pengecualian umum (General Exception List-Ge), serta pemindahan produk Sensitive List (SL) ke TEL dan penghapusan hambatan non-tarif.



Untuk ASEAN baru (Cabombia, Laos, Myanmar dan Vietnam) pencapian tarif 0-5 persen pada 2003 untuk Vietnam dan 2005 untuk Laos dan Myanmar sedangkan untuk Cambodia 2007. Sesuai kesepakatan ASEAN bahwa tingkat tarif nol persen pada 2003 bagi 60 persen sejumlah pos tarif dalam IL, kecuali Singapura, Brunei Darussalam dan Malaysia.


Sehingga ketiga negara ASEAN lainnya (Indonesia, Filipina dan Thailand) harus bekerja keras untuk menurunkan tarif sehingga mencapai target dimaksud. Indonesia baru mencapai 54,63 persen yang sebagian besar terdiri dari sektor textile and apparel, machinery and appliancem, serta chemicals.


Dengan tingkat tarif yang rendah yaitu 0-5 persen pada 2003 akan memperbesar dan meningkatkan perdagangan intra ASEAN. Tarif impor yang rendah akan mengakibatkan harga pengadaan barang impor lebih rendah, sehingga meningkatkan daya beli bagi konsumen industri maupun konsumen akhir.


Bagi konsumen industri, berarti peningkatan efisiensi pengadaan bahan baku, sehingga produk akhirnya akan memiliki daya saing yang lebih tinggi. Bagi konsumen akhir, penurunan harga barang konsumsi asal impor akan meningkatkan variasi alternatif barang di pasar dan persaingan yang lebih ketat akan menurunkan harga, sehingga meningkatkan pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan konsumen.


Penurunan tarif impor tentunya harus dibarengi dengan penghapusan non tarif barriers (NTB). Penghapusan NTB ini sudah disepakati dalam sidang ke-8 Dewan AFTA (tingkat menteri) pada 10 Desember 1995 di Bangkok, yang menyebutkan negara-negara ASEAN menghapus NTB-nya paling lambat tahun 2003. Adapun semua faktor di atas akan meningkatkan kegiatan ekonomi, perdagangan dan investasi yang bakal menimbulkan suasana dan iklim kondusif bagi pengusaha.


Para pemimpin ASEAN pada KTT Infomal ASEAN ke-3 pada 28 November 1999 di Manila sepakat mempercepat penghapusan bea masuk seluruh produk yang diperdagangkan di kawasan AFTA dari tahun 2015 menjadi 2010 untuk enam negara ASEAN. Sedangkan untuk empat negara ASEAN lainnya (negara baru) dipercepat dari tahun 2018 menjadi 2015.

Pencapaian tingkat tarif nol persen bagi seluruh produk di tahun 2010/2015 akan dilakukan secara bertahap dan dimulai dengan pencapaian tingkat tarif nol persen pada 2003 sebanyak minimal 60 persen sejumlah pos tarif dalam ILnya. Tahun 2010/2015 ASEAN merupakan wilayah perdagangan bebas tanpa hambatan tarif (nol persen) yang mencakup seluruh batas-batas negara anggotanya.

Pada KTT Informal ASEAn ke-4 di Singapura (24-25 November 2000) para kepala negara menyoroti masalah integrasi kawasan sebagai tantangan yang dihadapi ASEAN, mengingat masih adanya kesejangan antara negara-negara anggota lama dan anggota baru Asean. Dalam hal ini, Indonesia menekankan perlunya diperhatikan solidaritas ASEAN, agar dalam persaingan yang terjadi di ASEAN tidak ada negara-negara anggota yang ditinggalkan.

Dampak bagi RI

AFTA 2002 adalah komitmen lama yang secara hati-hati ditetapkan dan dilaksanakan secara bertahap merupakan hasil pemikiran 10 negara, yang setelah disepakati bersama diharapkan dapat memberikan suatu manfaat bersama. Jadi, bukan suatu cara yang membuat miskin salah satu anggota atau bahkan 10 negara secara bersama.

Melaksanakan komitmen AFTA 2002 mungkin bukan pilihan ideal, namun merupakan opsi yang lebih baik dibandingkan menunda sampai datang kondisi baik, yang bukan tidak mungkin setelah penundaan, tiba waktunya lagi akan timbul keraguan dari pihak-pihak tertentu dan meminta penundaan kembali dan seterusnya.

Bagi pengusaha Indonesia terutama yang terkait dalam kegiatan ekspor, pasar ASEAN mempunyai jumlah penduduk sekitar 500 juta, sehingga merupakan peluang pasar yang lebih besar. Demikian pula bagi pengusaha negara anggota ASEAN lainnya. Beberapa negara anggota ASEAN memiliki daya beli lebih besar dibandingkan Indonesia.

Pasar yang sangat potensial ini akan memungkinkan berkembangnya usaha dengan pesat dan menguntungkan. Di pihak lain, di pasar ASEAN yang tadinya terpisah, akan terintegrasi dan tingkat persaingan regional akan lebih ketat. Pesaing yang tadinya hanya produsen Indonesia, menjadi produsen ASEAN.

Dengan meningkatkan daya saing melalui efisiensi usaha, pengusaha Indonesia tidak saja dapat survive, tetapi juga akan berkembang di pasar yang lebih besar. Tetapi bila gagal dalam meningkatkan daya saing, berarti akan mengalami kesulitan.

0 Response to "Masayarakat Indonesia Menolak AFTA 2015"

Post a Comment