Salah satu juragan songket Palembang Yusuf Effendi mampu membuktikan bila latar belakangnya sebagai sopir angkutan umum (angkot) tak menjadi halangan untuk mengembangkan bisnis kain tradisional itu hingga menembus pasar luar negeri.
Setelah menamatkan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Jakarta pada 1982, putra asli Palembang ini memutuskan kembali ke kampung halamannya. Namun jalan karir Yusuf harus dimulai dengan melakoni pekerjaan sebagai sopir angkot.
"Saya pernah jadi supir angkot 1,5 tahun. Tapi akhirnya saya memutuskan untuk bantu orang tua melanjutkan usaha kain songket," tutur dia sambil mencoba mengingat masa lalunya, Selasa (2/4/2013).
Niat pria kelahiran 1962 itu untuk menjadi wirausaha mandiri, diwujudkan dengan membuka usaha songket kecil-kecilan di sebelah outlet orangtuanya di kota Palembang. Bermodalkan Rp 2 juta, dia berani menyewa kontrakan dan memulai hidup baru sebagai pengusaha songket mandiri.
"Rp 600 ribu saya gunakan untuk sewa kontrakan, sewa satu orang pegawai, beli bahan baku songket, biaya produksi dan sebagainya," kata generasi ketiga dari keluarga Effendi itu.
Waktu pun terasa begitu cepat, hingga Yusuf tak menyangka jika bisnis songketnya kian berkembang. Dan saat ini dia telah mempekerjakan 30 orang karyawan baik untuk pengrajin dan marketing. Gaji karyawan pun meningkat dari Rp 50 ribu per potong songket menjadi Rp 450 ribu setiap potong.
"Kalau dulu, nyari uang itu mudah. Saya produksi kain songket Rp 650 ribu, lalu saya jual ke Jakarta Rp 3 juta sangat laku. Sekarang susahnya minta ampun seperti bermimpi saja cari uang," ujarnya.
Ayah dari 11 orang anak ini bahkan pernah berhasil menjual songket dengan harga fantastis mencapai Rp 100 juta per potong. Terbuat dari benang emas asli yang dinamakan jantung, biaya produksi songket tersebut hanya Rp 60 juta per potong.
"Dulu songket Rp 100 juta saja laris, tapi sekarang jantung (songket) tidak diproduksi lagi karena kesulitan bahan baku dan benang, serta daya beli masyarakat juga tidak seperti sebelum krisis moneter," ungkap dia.
Kini, dengan strategi pemasaran 'jemput bola' dan diskon, Yusuf berharap dapat meningkatkan omzet bisnis songket yang mulai tergerus karena persaingan. "Penjualan turun 20%-30% sejak banyaknya persaingan, tapi karena kami sudah punya langganan, omzet masih Rp 60 jutaan," paparnya.
Yusuf mengeluhkan sulitnya menembus pasar internasional, lantaran terbatasnya koneksi atau jaringan. "Belum ada yang ngajak pula, makanya saya berharap ada yang memboyong kami pameran ke luar negeri, seperti perusahaan maupun pemerintah," pungkasnya.
Membawa Berkah
Berlokasi di Jalan Kiranggo Wirosentiko, Ilir, Palembang, outlet Yusuf menjajakan ratusan koleksi songket beraneka jenis, motif maupun bentuk khas Bumi Sriwijaya itu.
"Kami menyediakan songket untuk segala kebutuhan, diantaranya momen pernikahan, lamaran, dan acara-acara resmi lainnya. Yang pasti, bahan dan benang yang digunakan tergantung harga," ungkapnya.
Dia mengatakan, untuk memproduksi satu kain songket rata-rata memakan waktu sekitar dua minggu. Bahkan proses penenunan ada yang mencapai satu bulan, seperti songket jenis bintang limar yang menggunakan bahan sutera serta benang emas berkualitas tinggi.
Tak heran, bila harga songket asli buatan tangan itu dibanderol berkisar Rp 1 juta sampai Rp 7,5 juta. Apabila menginginkan songket seharga ratusan ribu rupiah, pengunjung bisa mendapatkan koleksi songket buatan mesin. Pihaknya menjual dengan harga sekitar Rp 600 ribu.
"Yang paling laris itu buatan tangan diharga Rp 1 juta. Sementara untuk songket seharga Rp 7,5 juta (bintang limar), pembeli harus order terlebih dahulu, karena kami tidak stok. Permintaan juga banyak," terangnya.
Dalam menjaring pembeli, Yusuf mengaku, pameran, reseller maupun situs pertemanan di media online mampu meningkatkan penjualan kain songket. Terlebih lagi ikut bergabung dalam kelompok binaan dari sebuah perusahaan.
"Dalan sebulan, kami bisa memasarkan hingga 30 potong kain songket, di luar penjualan baju, asesories berbahan kain songket. Pembelinya kalangan bawah-atas, baik wisatawan domestik maupun asing, diantaranya pelancong asal China," jelas dia.
Larisnya bisnis kain songket di kota Palembang, menurut dia, membawa berkah tersendiri. Pasalnya, omzet yang diraup dari penjualan songket tak tanggung-tanggung. Setiap bulannya, Yusuf bisa mengantongi puluhan juta rupiah.
"Omzet bisa mencapai lebih dari Rp 60 juta, dan bisa melonjak saat musim nikah di November-Desember hingga sekitar Rp 80 juta. Tapi kalau lagi sepi, paling Rp 50 juta per bulan," ucapnya yang telah ikut menjadi mitra binaan Angkasa Pura II Cabang Palembang sejak satu tahun lalu itu.
Dengan bergabung sebagai mitra binaan, dia menilai, penjualan songket terasa lebih mudah, karena dibantu dalam hal pemasaran, seperti di kota-kota besar di seluruh Indonesia.
"Pembeli biasanya datang dari Jambi, Palembang, Jakarta, sampai paling jauh pernah menerima pesanan dari masyarakat Papua," pungkas Yusuf.
Oleh : Fiki Ariyanti
Referensi : http://bisnis.liputan6.com/read/551279/dari-sopir-angkot-jadi-juragan-songket
Stres dalam Bekerja Picu Penyakit Jantung
Bekerja dalam jam kerja yang panjang dan di bawah tekanan yang berat akan menyebabkan Anda merasakan sindrom kelelahan atau frustasi yang disebut dengan burnout. Mereka yang menderita gejala tersebut menjadi lebih mudah tersinggung dan nyeri di sana-sini. Penelitian bahkan menyebut orang yang menderita burnout beresiko besar terkena penyakit jantung.
Beberapa penelitian sebelumnya telah menghubungkan kelelahan mental dan fisik dalam bekerja atau burnout dengan obesitas, insomnia, dan kecemasan, yang mengakibatkan kondisi tubuh bertambah buruk.
Para peneliti menemukan bahwa orang yang berada di 20 persen teratas dari skala kelelahan memiliki 79 persen peningkatan risiko penyakit jantung koroner (PJK). Hal tersebut menjadikan efek dari burnout ternyata ekstrim daripada yang terpikir sebelumnya. Burnout juga diklaim sebagai indiktaro yang lebih baik ketimbang rokok, kadar kolesterol atau aktivitas fisik, dalam kaitannya dengan PJK.
Studi yang dimuat dalam jurnal Psychosomatic Medicine ini melibatkan 8.838 orang berusia 19 hingga 67 tahun. Mereka diperiksa kesehatannya dan diawasi selama 3,4 tahun. Tingkat kelelahan dalam bekerja dan PJK diukur setiap kali ada pemeriksaan kesehatan dalam periode penelitian.
Selama periode tersebut ditemukan 93 kasus PJK baru dan burnout dihubungkan dengan peningkatan risiko PJK sebanyak 40 persen. Yang lebih mengejutkan adalah ada seperlima orang yang menderita burnout mengalami hampir 80 persen peningkatan PJK.
Kendati demikian, para peneliti tidak menyatakan bahwa dengan menurunkan kadar burnout akan juga menurunkan risiko PJK, namun mereka menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara keduanya.
Oke buat sobat-sobat yang sudah baca artikel diatas semoga bisa membantu kelancaran dalam memperoleh pekerjaan yang layak dan halal, bekerja bukan tuntutan atau suatu yang sulit tapi bekerja adalah seni dalam bertahan hidup.
Sumber :Medical daily
Editor :Lusia Kus Anna
Referensi lengkapnya lihat disini
0 Response to "Inilah Kisah Sukses Dari Sopir Angkot Jadi Juragan Songket"
Post a Comment