Sejumlah 84% (168 juta dari 200 juta) penduduk Indonesia termasuk melek huruf, namun di Indonesia
hanya terbit 12 buku untuk satu juta penduduk pertahun. Ini di bawah rata-rata negara berkembang lainnya yang mampu menerbitkan 55 buku untuk satu juta penduduknya pertahun atau di negara maju yang mencapai 513 buku untuk setiap satu juta penduduknya pertahun (Alwasilah, 2000).
Belum lagi kondisi mayoritas komunitas kampus yang masih tidak terampil menulis, terbukti dengan jumlah publikasi yang rendah, yakni berada pada urutan ke-92 di bawah Malaysia, Nigeria dan Thailand (Alwasilah, 2000). Indonesia setiap tahunnya hanya mampu menerbitkan 3-4 ribu judul buku baru.
Padahal Amerika pada tahun 1990 menerbitkan judul buku baru sebanyak 77.000 buah, Jerman Barat sebanyak 59.000 buah, Inggris sebanyak 43.000 buah, Jepang sebanyak 42.000 buah dan Prancis sebanyak 37.000 buah. Data lain menunjukkan bahwa perbandingan antara jumlah koran dengan jumlah penduduk di Indonesia 1:41,53, sementara di Inggris satu koran dibaca oleh 3,16 orang, di Jerman 3,19 orang, dan Amerika Serikat 4,43 orang.
Rendahnya kemampuan menulis dosen diperkuat oleh laporan Dirjen Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, terbukti dengan rendahnya penerbitan jurnal ilmiah.
Di Indonesia terdapat sekitar 266 jurnal dalam kelompok bidang: bunga rampai (40 buah), ekonomi (32 buah) kependidikan (30 buah) kedokteran umum (17 buah), pertanian (13 buah), sosial budaya (8 buah), teknologi rekayasa (7 buah), teknologi tepat guna (7 buah), manajemen (6 buah), psikologi (5 buah), kesehatan masyarakat (5 buah), MIPA (5 buah), bahasa/sastra (5 buah), kedokteran gigi (4 buah), administrasi (4 buah), dan 22 kelompok lainnya berkisar antara 1-3 buah. STAID (Science and Tecnology for Industrial Development) juga melaporkan bahwa antara tahun 1976-1981 ISSN di Indonesia berjumlah 4.167 buah, 2.345 di antaranya majalah, 16,8% majalah pertanian, ilmu-ilmu pengetahuan sosial 10,8%, dan ilmu pendidikan 10,7% (Republika, 6-12-1993).
Dengan berpijak pada data-data di atas, maka kita bisa menyatakan bahwa rendahnya kemampuan menulis para ilmuwan Indonesia, termasuk di dalamnya kalangan kampus, menjadi sebuah realita. Para ilmuwan belum terbiasa menuliskan pikiran-pikirannya secara produktif.
Para ilmuwan kita baru menjadi penganut budaya lisan dan menyimak yang reseptif. Budaya lisan dan menyimak sangat paradoks dengan tuntutan modernitas global dan kecenderungan masa depan yang semakin kompetitif.
Membangun pendidikan berarti membangun masa depan bangsa melalui penyiapan sumber daya manusia yang sesuai dengan tuntutan zaman. Namun ironisnya, pendekatan yang dilakukan untuk itu menggunakan pendekatan lama (kolonial) yang tidak sesuai dan tidak signifikan dengan tantangan masa depan itu.
Akibatnya penyiapan sumber daya yang unggul hanya menjadi wacana. Studi kasus tentang rendahnya kemampuan menulis mahasiswa Indonesia, hingga kini, belum melahirkan pendekatan atau teori baru yang mampu mendongkrak dan memotivasi mahasiswa untuk menulis.
Hal ini diperparah dengan mengglobalnya informasi melalui media visual yang berpengaruh terhadap pembangunan wacana literasi masyarakat Indonesia. Yang hendak kita bangun dengan sistem pendekatan terkini adalah sebuah masyarakat yang menyadari pentingnya belajar secara terus menerus dan menggunakan kegiatan membaca-menulis .
0 Response to "1001 Manfaat Membaca Bagi Kemajuan Bangsa"
Post a Comment