Pisau sepanjang lengan orang dewasa itu terikat pada baut yang menempel di balok kayu sebesar mesin pencetak. Pisau itu bisa digerakkan ke atas dan ke bawah seperti tuas pompa air. Pemiliknya membungkus pangkal pisau dengan kain tebal sebagai pegangan. Di atas balok kayu tertempel lempeng logam setebal 1,5 milimeter yang dipasang tegak menghadap pisau.
Pisau yang dirakit Kusnodin itu bukan untuk memotong kertas, melainkan untuk memotong aluminium. Dengan pisau itu, dia memotong kaleng-kaleng bekas menjadi segi empat sepanjang 36 sentimeter dan selebar bungkus rokok. Setelah itu, lempengan kaleng tadi dirajang.
“Sreeet…sreet…sreeet...” Logam itu terpotong. Tangannya terus mengayunkan tuas pisau
ratusan kali selama beberapa detik. Dia memastikan aluminium itu terajang menjadi 180 lembar irisan kecil selebar dua milimeter. “Pakai perasaan saja biar cepat, tapi ukurannya tepat,” kata bekas sopir angkutan kota yang hobi memelihara burung dan melukis itu.
Kusnodin menggunakan rajangan kaleng itu untuk membuat bagian dari bulu burung. “Ini ide asli saya. Belum ada yang bisa meniru, butuh pengalaman lama. Jual barangnya juga enggak bisa cepat,” kata warga Kampung Pongangan, Desa Ngadirejo, Kecamatan Salaman, Magelang, itu. Logam dipelintir memutar dengan tang hingga berbentuk spiral. “Bagus untuk membentuk tekstur bulu,” kata dia.
Bengkel kerja UD Karya Baru miliknya tak begitu besar. Di ruang utama yang selebar lapangan voli itu, tampak tiga perempuan sedang memelintir irisan logam sambil menggendong balita. Menurut Kusnodin, ada puluhan ibu rumah tangga di kampungnya yang bekerja dengan upah Rp 9.000 per lempeng. “Mereka biasanya memelintir di rumah atau sambil menunggu anaknya di sekolah,” kata Kusnodin, yang menekuni bisnisnya sejak 1987.
Kusnodin memajang beberapa hasil produksinya di ruang itu, seperti burung merak, jalak, elang, kacer, dan garuda. Dia juga memodifikasi karyanya dengan melukis langit dan batang pohon, yang ditempeli hiasan burung, sehingga mirip gambar tiga dimensi. Setiap patung dijual seharga Rp 150 ribu-1,5 juta, bergantung pada ukuran. Lukisan dibanderol lebih dari Rp 1 juta.
Hasil karya Kusnodin dipasarkan di berbagai galeri di sekitar Borobudur dan Yogyakarta. Salah satu galeri terbesar langganannya adalah Tom Silver di Kotagede. Dia tak bersedia menyebutkan omzet pastinya. Namun, dia pernah menjual patung harimau seharga Rp 26 juta.
Pengusaha gurem binaan Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Bapas 69, Magelang, ini mengaku belum banyak tahu ihwal strategi pemasaran. Modal tak ada masalah karena banyak tawaran dari bank. “Ada pikiran pakai online, tapi belum tahu caranya,” katanya.
Pengusaha kecil lain yang tak kalah inovatif adalah Sumarni dari Dusun Jurug, Desa Bangunharjo, Kecamatan Sewon, Bantul. Ahli waris usaha tempe itu kini memodifikasi produk tempe menjadi aneka makanan. Pasca-gempa Bantul 2006, dia rajin mengikuti pelatihan pengusaha kecil untuk kelompok wanita tani (KWT), yang diadakan pemerintah. Sejak itu, dia kerap meracik banyak resep makanan berbahan tempe.
Sumarni pun meluncurkan brownies tempe, roti gula rasa mendoan tempe, galantine tempe, kroket tempe, burger tempe, donat tempe, sate tempe, pia tempe, susu kedelai, hingga nugget tempe serta kerupuk dari ampas susu kedelai. “Beberapa tahun jalan, saya membentuk KWT Rahayu pada 2009 bersama delapan ibu rumah tangga,” kata dia.
Di rumah produksinya tampak beberapa deret penghargaan dari sejumlah kompetisi makanan olahan berbahan tempe. Delapan orang perempuan tampak sibuk membungkus kedelai dan mengolah makanan berbahan kedelai di ruangan berukuran 5 x 6 meter beratap seng itu.
Setiap hari, KWT Rahayu menghabiskan 10-15 kilogram kedelai untuk tempe dan belasan jenis makanan. “Tak mesti jumlahnya, bergantung pesanan. Kami tak berani membuat kalau tidak dipesan. Risikonya rugi,” kata Sumarni.
Inovasi Sumarni tak berhenti di resep. Usahanya juga tanpa limbah. Air hasil rendaman tempe, yang terpakai sebelum proses fermentasi kedelai tak dibuang, melainkan dijadikan minuman untuk sapinya. Tempe yang busuk karena tak laku dilempar ke kolam ikan gurami. “Jika ada pesanan brownies, tempe yang tak laku sehari dikeringkan dan diblender jadi tepung, lalu diolah dengan cokelat,” kata dia.
Perempuan kelahiran 1968 itu mengatakan langganan utamanya adalah panitia acara-acara kampung, kantor kelurahan, dan posyandu. Makanan olahannya juga mampir di beberapa toko makanan di Kota Yogyakarta. Harganya bervariasi, yaitu Rp 500-2.500 per potong. Selebihnya, dia menjual tempe ke pasar tradisional seharga Rp 1.000 per lima bungkus. “Belum ketemu cara pemasarannya. Biasanya sebar pamflet dan dari mulut ke mulut,” kata dia.
Dua wirausahawan kecil tersebut adalah sebagian kecil dari pelaku usaha mikro yang terjaring kompetisi Citi Micro-Entrepreneurship Award oleh Citi Peka milik Citibank yang bekerja sama dengan UKM Center Universitas Indonesia, yang berlangsung selama delapan tahun hingga 2012.
Tujuh edisi sebelumnya menjaring 3.892 wirausahawan mikro dari seluruh Indonesia dengan 73 pemenang. “Tahun ini ada 500 pendaftar. Masuk tahap semifinal dengan peserta tersaring 50 orang dan akan diambil sembilan sebagai penerima award,” kata Hilda Fachriza, Ketua UKM Center Universitas Indonesia, bersama rombongan Citibank, yang mendatangi usaha Kusnodin dan Sumarni pada akhir pekan lalu.
Kusnodin adalah kandidat semifinalis penerima award kategori wirausaha berwawasan lingkungan. Adapun Sumarni adalah penerima award wirausahawan mikro terbaik se-Indonesia periode 2011. “Tahun ini beda dengan sebelumnya. Ada empat kategori, wirausahawan pelestari lingkungan, pelestari budaya, berwawasan sosial, dan pemberdaya perempuan,” ujar Hilda.
Mona Monika, Corporate Affairs Citi Indonesia, mengatakan selama tujuh kali penyelenggaraan award, sebanyak 55 persen pendaftar pengusaha mikro adalah perempuan. Fakta ini, kata dia, mendorong perusahaannya memasukkan kategori pemberdayaan perempuan sebagai salah satu penerima award. “Banyak pengusaha mikro mempunyai inovasi hebat di beragam jenis bidang. Kami ingin sebarkan inspirasinya,” kata dia.
Mona mengatakan sempat mengunjungi kelompok budidaya jamur Sedyo Lestari di Desa Argosari, Sedayu, Bantul. Dia kagum dengan visi pemimpin kelompok, bernama Lestari, yang memberdayakan puluhan ibu rumah tangga di sekitar kampungnya.
“Mulai budidaya, pengolahan, pemasaran, hingga hal sepele, seperti pembersihan wadah penanaman jamur,” ujar Mona.
Lestari juga meminta sejumlah mahasiswa memasarkan jamur lewat dunia maya. Mahasiswa bisa membeli jamur dengan harga hampir separuh lebih murah daripada harga jual. “Ini contoh social entrepreneurship ala pengusaha mikro,” kata Mona.
Referensi : tempo.co
Pisau yang dirakit Kusnodin itu bukan untuk memotong kertas, melainkan untuk memotong aluminium. Dengan pisau itu, dia memotong kaleng-kaleng bekas menjadi segi empat sepanjang 36 sentimeter dan selebar bungkus rokok. Setelah itu, lempengan kaleng tadi dirajang.
“Sreeet…sreet…sreeet...” Logam itu terpotong. Tangannya terus mengayunkan tuas pisau
ratusan kali selama beberapa detik. Dia memastikan aluminium itu terajang menjadi 180 lembar irisan kecil selebar dua milimeter. “Pakai perasaan saja biar cepat, tapi ukurannya tepat,” kata bekas sopir angkutan kota yang hobi memelihara burung dan melukis itu.
Kusnodin menggunakan rajangan kaleng itu untuk membuat bagian dari bulu burung. “Ini ide asli saya. Belum ada yang bisa meniru, butuh pengalaman lama. Jual barangnya juga enggak bisa cepat,” kata warga Kampung Pongangan, Desa Ngadirejo, Kecamatan Salaman, Magelang, itu. Logam dipelintir memutar dengan tang hingga berbentuk spiral. “Bagus untuk membentuk tekstur bulu,” kata dia.
Bengkel kerja UD Karya Baru miliknya tak begitu besar. Di ruang utama yang selebar lapangan voli itu, tampak tiga perempuan sedang memelintir irisan logam sambil menggendong balita. Menurut Kusnodin, ada puluhan ibu rumah tangga di kampungnya yang bekerja dengan upah Rp 9.000 per lempeng. “Mereka biasanya memelintir di rumah atau sambil menunggu anaknya di sekolah,” kata Kusnodin, yang menekuni bisnisnya sejak 1987.
Kusnodin memajang beberapa hasil produksinya di ruang itu, seperti burung merak, jalak, elang, kacer, dan garuda. Dia juga memodifikasi karyanya dengan melukis langit dan batang pohon, yang ditempeli hiasan burung, sehingga mirip gambar tiga dimensi. Setiap patung dijual seharga Rp 150 ribu-1,5 juta, bergantung pada ukuran. Lukisan dibanderol lebih dari Rp 1 juta.
Hasil karya Kusnodin dipasarkan di berbagai galeri di sekitar Borobudur dan Yogyakarta. Salah satu galeri terbesar langganannya adalah Tom Silver di Kotagede. Dia tak bersedia menyebutkan omzet pastinya. Namun, dia pernah menjual patung harimau seharga Rp 26 juta.
Pengusaha gurem binaan Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Bapas 69, Magelang, ini mengaku belum banyak tahu ihwal strategi pemasaran. Modal tak ada masalah karena banyak tawaran dari bank. “Ada pikiran pakai online, tapi belum tahu caranya,” katanya.
Pengusaha kecil lain yang tak kalah inovatif adalah Sumarni dari Dusun Jurug, Desa Bangunharjo, Kecamatan Sewon, Bantul. Ahli waris usaha tempe itu kini memodifikasi produk tempe menjadi aneka makanan. Pasca-gempa Bantul 2006, dia rajin mengikuti pelatihan pengusaha kecil untuk kelompok wanita tani (KWT), yang diadakan pemerintah. Sejak itu, dia kerap meracik banyak resep makanan berbahan tempe.
Sumarni pun meluncurkan brownies tempe, roti gula rasa mendoan tempe, galantine tempe, kroket tempe, burger tempe, donat tempe, sate tempe, pia tempe, susu kedelai, hingga nugget tempe serta kerupuk dari ampas susu kedelai. “Beberapa tahun jalan, saya membentuk KWT Rahayu pada 2009 bersama delapan ibu rumah tangga,” kata dia.
Di rumah produksinya tampak beberapa deret penghargaan dari sejumlah kompetisi makanan olahan berbahan tempe. Delapan orang perempuan tampak sibuk membungkus kedelai dan mengolah makanan berbahan kedelai di ruangan berukuran 5 x 6 meter beratap seng itu.
Setiap hari, KWT Rahayu menghabiskan 10-15 kilogram kedelai untuk tempe dan belasan jenis makanan. “Tak mesti jumlahnya, bergantung pesanan. Kami tak berani membuat kalau tidak dipesan. Risikonya rugi,” kata Sumarni.
Inovasi Sumarni tak berhenti di resep. Usahanya juga tanpa limbah. Air hasil rendaman tempe, yang terpakai sebelum proses fermentasi kedelai tak dibuang, melainkan dijadikan minuman untuk sapinya. Tempe yang busuk karena tak laku dilempar ke kolam ikan gurami. “Jika ada pesanan brownies, tempe yang tak laku sehari dikeringkan dan diblender jadi tepung, lalu diolah dengan cokelat,” kata dia.
Perempuan kelahiran 1968 itu mengatakan langganan utamanya adalah panitia acara-acara kampung, kantor kelurahan, dan posyandu. Makanan olahannya juga mampir di beberapa toko makanan di Kota Yogyakarta. Harganya bervariasi, yaitu Rp 500-2.500 per potong. Selebihnya, dia menjual tempe ke pasar tradisional seharga Rp 1.000 per lima bungkus. “Belum ketemu cara pemasarannya. Biasanya sebar pamflet dan dari mulut ke mulut,” kata dia.
Dua wirausahawan kecil tersebut adalah sebagian kecil dari pelaku usaha mikro yang terjaring kompetisi Citi Micro-Entrepreneurship Award oleh Citi Peka milik Citibank yang bekerja sama dengan UKM Center Universitas Indonesia, yang berlangsung selama delapan tahun hingga 2012.
Tujuh edisi sebelumnya menjaring 3.892 wirausahawan mikro dari seluruh Indonesia dengan 73 pemenang. “Tahun ini ada 500 pendaftar. Masuk tahap semifinal dengan peserta tersaring 50 orang dan akan diambil sembilan sebagai penerima award,” kata Hilda Fachriza, Ketua UKM Center Universitas Indonesia, bersama rombongan Citibank, yang mendatangi usaha Kusnodin dan Sumarni pada akhir pekan lalu.
Kusnodin adalah kandidat semifinalis penerima award kategori wirausaha berwawasan lingkungan. Adapun Sumarni adalah penerima award wirausahawan mikro terbaik se-Indonesia periode 2011. “Tahun ini beda dengan sebelumnya. Ada empat kategori, wirausahawan pelestari lingkungan, pelestari budaya, berwawasan sosial, dan pemberdaya perempuan,” ujar Hilda.
Mona Monika, Corporate Affairs Citi Indonesia, mengatakan selama tujuh kali penyelenggaraan award, sebanyak 55 persen pendaftar pengusaha mikro adalah perempuan. Fakta ini, kata dia, mendorong perusahaannya memasukkan kategori pemberdayaan perempuan sebagai salah satu penerima award. “Banyak pengusaha mikro mempunyai inovasi hebat di beragam jenis bidang. Kami ingin sebarkan inspirasinya,” kata dia.
Mona mengatakan sempat mengunjungi kelompok budidaya jamur Sedyo Lestari di Desa Argosari, Sedayu, Bantul. Dia kagum dengan visi pemimpin kelompok, bernama Lestari, yang memberdayakan puluhan ibu rumah tangga di sekitar kampungnya.
“Mulai budidaya, pengolahan, pemasaran, hingga hal sepele, seperti pembersihan wadah penanaman jamur,” ujar Mona.
Lestari juga meminta sejumlah mahasiswa memasarkan jamur lewat dunia maya. Mahasiswa bisa membeli jamur dengan harga hampir separuh lebih murah daripada harga jual. “Ini contoh social entrepreneurship ala pengusaha mikro,” kata Mona.
Referensi : tempo.co
0 Response to "Pengusaha Kecil yang Kreatif dan Inovatif"
Post a Comment