Interview Bersama Benny Tjia : Mulai Dari Ia Bekerja di Startup Silicon Valley Hingga Mendirikan

Kali ini tim startupbisnis berkesempatan untuk mewawancarai Benny Tjia, co-founder dan CEO dari Bornevia. Benny akan menceritakan pengalamannya bekerja di suatu starup kecil di daerah Silicon Valley sebelum startup ini bangkrut. Untungnya, jauh sebelum startup ini bangkrut, Benny sudah ditarik oleh Yammer untuk bekerja bersama mereka. Benny menjadi salah satu leader dalam suatu projek untuk membangun suatu sistem di Yammer. 

Benny banyak belajar di Yammer sebelum ia memutuskan untuk resign dari sana dan kembali ke Indonesia untuk memulai startup-nya sendiri, yaitu Bornevia. Bersama sahabatnya, Tjiu Suryanto, ia membangun bisnis B2B  untuk CRM (Customer Relationship Management) dengan sistem cloud dan web-based pertama di Indonesia. Berikut ini adalah hasil wawancara kami dengan Benny Tjia:

Bisakah anda ceritakan mengenai background dan jurusan apa yang anda ambil saat kuliah dan kenapa?

Background saya adalah computer science. Saya memulai kuliah pada tahun 2006 di Seattle University. Pada tahun 2008, saya pindah ke University of Michigan dan lulus pada awal tahun 2010. Tetapi, pada tahun 2009, saya mengambil kursus di Stanford University selama 8 bulan dibagian research (AI dan Database). Setelah lulus, saya langsung pindah ke Bay Area, San Fransisco dimana saya mendapatkan pekerjaan di suatu startup yang bernama Offermatic sebagai senior engineer.

Sayangnya, startup ini tidak berjalan dengan baik dikarenakan manajemennya yang buruk. Sebelum startup ini bangkrut, saya ditarik oleh Yammer untuk bekerja di sana karena saya berhasil menunjukkan kinerja yang bagus selama bekerja di startup yang mau bangkrut ini.

Lalu, di Yammer anda bekerja dibagian apa?

Pada saat saya masuk ke Yammer, karyawan di sana sudah mencapai 300 orang dimana 60-70% adalah software engineer dan sisanya sales, recruitment, dan customer service officer. Saya bekerja di suatu tim yang khusus mengerjakan dibagian javascript specialist untuk membangun suatu web platform.

Kenapa anda bisa masuk ke bagian javascript specialist? Apakah anda memilih sendiri?

Sebenarnya ada banyak bagian pekerjaan yang tersedia di Yammer, tetapi setelah mereka melihat resume/cv saya, mereka membuka tiga lowongan pekerjaan untuk saya, yaitu bagian front-end, bagian ruby on rails specialist dan yang ketiga adalah javascript specialist. Dan saya memilih javascript specialist karena saya merasa saya lebih paham mengenai hal ini, begitu juga dengan mereka.

Dalam tim javascript ini, kami mempunyai projek untuk membangun sebuah layanan API dan web platform untuk internal Yammer dimana dengan layanan ini anda bisa melihat suatu news feed, foto, dan chatting (seperti Facebook) yang hanya bisa digunakan oleh bagian software engineer-nya saja. Kesemua layanan ini adalah tanggung jawab dari tim kami (javascript specialist) karena sebagian besar layanan ini membutuhkan bahasa pemrograman javascript.

Benarkah anda pernah memimpin untuk tim javascript ini?

Tidak sepenuhnya, karena sebenarnya di Yammer tidak ada senior dan junior. Jadi setiap orang di sini, mereka memimpin dirinya sendiri dan mempunyai tanggung jawab masing-masing. Setiap orang yang bekerja di Yammer, mereka sudah dianggap paham dengan pekerjaannya masing-masing. Jadi tidak ada pembinaan yang mendalam, dan hal ini juga berlaku bagi orang yang magang (intern). Mereka juga sudah dianggap paham walaupun hanya dengan diberikan sedikit orientasi/perkenalan.

Intinya, setiap menjalankan suatu projek, tetap harus ada leader yang bertanggung jawab pada projek tersebut. Dan saya menjadi leader untuk membangun layanan chatting di sini. Untuk membangun layanan chatting ini membutuhkan tiga tim, yaitu bagian front-end (5-6 orang), back-end (2 orang), dan javascript (4 orang). Dalam projek ini, saya kebagian untuk memimpin tim javascript.

Kembali ke startup kecil (offermatic) yang anda jelaskan tadi, bagaimana bisa anda bekerja untuk pertama kali dan langsung melompat sebagai senior engineer?

Iya, saya bisa menjadi senior engineer karena ada cerita cukup menarik dibelakangnya. Jadi pada saat saya masuk, startup ini mempunyai enam engineer. Tiga di antaranya merupakan orang yang bisa dikatakan menonjol di bagian backend. Ketiga orang ini sebelumnya sudah bekerja di Oracle, LinkedIn, dan IBM. Ketiga engineer ini bisa dibilang adalah orang yang bertanggung jawab dengan teknologi di startup ini. Ketika saya diwawancarai, saya katakan bahwa saya ingin masuk ke bagian front-end developer. Nah di sinilah cerita menarik itu terjadi, ternyata pengetahuan saya mengenai HTML, javascript, dan bahasa pemrograman lain untuk front-end lebih bagus dibanding dengan orang yang mewawancarai saya ini. Oleh karena itu, akhirnya saya direkomendasikan agar bekerja sebagai full-stack developer, yaitu orang yang bertanggung jawab dengan teknologi back-end dan front-end di startup ini. Kenapa saya juga bertanggung jawab di backend? Karena dulunya saya telah mempelajari back-end sebelum saya fokus ke front-end. Jadi saya sudah cukup paham mengenai teknologi yang diterapkan di bagian back-end dan mereka juga menganggap saya bisa kedua-duanya. Dengan posisi ini, otomatis tanggung jawab saya lebih besar dan juga gaji lebih tinggi karena saya satu-satunya full-stack developer di startup ini.

Seperti yang saya jelaskan sebelumnya bahwa offematic akhirnya bangkrut karena mereka menghabiskan terlalu banyak uang dan manajemennya yang buruk. Saya memang sudah merasakan bahwa startup ini tidak berjalan dengan baik saat saya masih bekerja di sana. Mereka ingin membangun suatu platform dimana anda bisa log in di platform ini dengan menggunakan Gigya API. Untuk mempelajari dan menerapkan API ini, mereka rela membayar dua orang konsultan seharga belasan ribu dollar per orang yang kinerjanya sendiri tidak begitu bagus. Malahan kami berpikir bahwa kami lebih tahu mengenai Gigya dibandingkan mereka. Dua orang konsultan ini dibayar hampir belasan ribu dollar per minggu dan mereka bekerja di kantor kami selama satu bulanan. Bayangkan berapa besar jumlah uang yang dihabiskan. Menurut saya sendiri, seharusnya tidak perlu menyewa konsultan untuk mempelajari Gigya API ini, kita bisa melakukannya sendiri selama 4-7 hari. Mungkin wajar mereka membuang uang sebanyak ini karena mereka di invest dengan dana yang cukup besar oleh Kleiner Perkins yang berjumlah U$5 juta. Di tahun 2010-an, suntikan dana sebesar ini terjadi dimana-mana. Walaupun dengan suntikan sebesar ini, masih banyak perusahaan yang gagal dalam membangun produknya. Dana yang besar tidak menjamin kesuksesan suatu startup.

Saya penasaran, kenapa anda memilih untuk mendalami computer science dan masuk ke dunia startup?

Saya suka computer science karena pada dasarnya saya senang belajar mengenai science, seperti fisika, kimia, dan matematika. Tetapi, setelah saya pelajari secara mendalam, menurut saya computer science itu lebih menarik karena saya bisa melihat secara langsung hasil dari program yang saya ciptakan sendiri. Saya mulai belajar programming saat menginjak kelas 2 SMA. Di awal kuliah pun saya hanya diajari dasar-dasar tekniknya saja. Untuk pembelajaran lebih mendalam, saya harus belajar sendiri.

Sebenarnya, sebelum saya menjadi seorang expert di javascript, saya mulai mendalami bahasa pemrograman ini di saat-saat mendekati kelulusan kuliah. Saya belajar intensif sendiri selama 4 bulan untuk mendalami javascript dan bahasa pemrograman website lainnya. Dari sinilah saya mulai bergabung dengan forum-forum developer seperti StackOverFlow. Dengan mempelajari javascript, saya baru paham mengenai website. Jujur saja, selama 3 tahun saya kuliah, saya sama sekali tidak bisa membuat website. Saya tidak mengerti HTML, CSS dan Javascript. Tidak mengerti sama sekali. Mungkin ini bisa dijadikan inspirasi bagi anda yang belum bisa membuat website hingga saat ini, menurut saya, selama anda bisa fokus dan mencintai apa yang anda lakukan, anda pasti bisa menjadi expert di bidang yang anda inginkan. Saya tidak mengerti pemrograman website karena biasanya saya lebih mempelajari bahasa pemrograman yang lebih problem solving seperti C, C++, Java, dll. Sedangkan untuk membuat website, saya harus mempelajari HTML, CSS, dan Javascript yang sangat berbeda dengan bahasa pemrograman yang saya pelajari selama ini.

Tahun 2010, dunia startup di US lagi heboh-hebohnya dengan banyaknya Venture Capital yang menyuntikkan dana mereka ke startup dengan jumlah yang tidak sedikit. Startup merupakan sesuatu yang menarik bagi saya karena menyenangkan, duitnya banyak, dan juga saya suka wilayahnya, yaitu di West Coast dimana suhunya tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Itulah kenapa saya melamar pekerjaan ke Offermatic.

Dengan background sebagai programmer dan telah bekerja di Yammer, bagaimana cerita asal mula anda sebelum mendirikan Bornevia di Indonesia?

Saat saya bekerja di Yammer, saya sudah kepikiran suatu ide untuk membangun bisnis B2B (Business to business) di Indonesia karena saya mengingat bahwa sudah enam tahun lebih saya menetap di US dan belum pulang ke Indonesia. Saya juga merasa sudah bosan dengan kehidupan di US.  Itulah kenapa saya memutuskan untuk balik dan membangun startup di Indonesia.

Selama saya bekerja di US, saya sudah mengerti cara memulai startup dengan membuat framework dan website-nya. Tetapi, satu hal yang masih saya pikirkan waktu itu adalah bisnis model-nya seperti apa. Membuat bisnis model itu bukanlah pekerjaan mudah yang bisa dilakukan di waktu senggang. Saat saya masih bekerja di Offermatic, sebenarnya saya bisa saja mulai membuat suatu bisnis model untuk startup saya karena pekerjaan saya di sini tergolong santai, berbeda dengan startup lainnya, tetapi dengan pengalaman yang saya miliki waktu itu, saya merasa bahwa saya belum siap untuk membangun startup. Dan akhirnya saya mulai merasa siap ketika saya bekerja di Yammer.

Saya banyak belajar di Yammer. Menurut saya, teknologi di Yammer sudah tergolong canggih untuk wilayah di Silicon Valley dan dari sinilah saya mulai mempelajari banyak teknologi dan sistem yang dibutuhkan untuk menjalankan suatu perusahaan. Pekerjaan saya di sini juga sangat berat, bahkan sabtu minggu pun saya masih bekerja. Waktu senggang saya hampir tidak ada. Lalu, saya merasa sangat jenuh dan memutuskan untuk keluar dari Yammer dan memikirkan bisnis model yang ingin saya jalani.

Setelah anda keluar dari Yammer, apakah anda langsung pulang ke Indonesia atau menetap sebentar di US?

Saya menetap di US selama 1-2 bulan, setelah itu saya balik ke Indonesia dan liburan selama enam bulan lamanya. Saya liburan selama ini karena semenjak bekerja di Yammer, waktu senggang saya hanya sedikit dan liburan ini merupakan pelampiasan saya saat bekerja keras di Yammer. Lalu, sehabis liburan saya baru mulai untuk networking dan datang ke meetup-meetup di Jakarta.

Apakah waktu networking ini Bornevia sudah berjalan?

Belum, sebenarnya ide saya dulunya adalah membuat platform chatting untuk memudahkan interaksi antara suatu perusahaan/pengguna dengan customer mereka. Tetapi, setelah saya bertemu dengan seorang investor, beliau menyarankan agar platform chatting ini diperluas dengan layanan software helpdesk. Menurut beliau ini akan jauh lebih menarik dibanding layanan chatting saja. Layanan helpdesk pasti dibutuhkan untuk perusahaan ecommerce, IT services, dan perusahaan di industri lainnya. Ini adalah layanan customer support (CRM) bagi perusahaan untuk berinteraksi dengan customer mereka. Dari sinilah Bornevia mulai berdiri.

Menurut anda, bagaimana iklim startup di Indonesia dibandingkan dengan US?

Menurut saya iklim startup di Indonesia mulai naik dalam 2 tahun terakhir. Belum banyak orang Indonesia yang mengerti startup. Mereka lebih mengerti dengan berdagang secara online. Sebagian dari orang Indonesia belum bisa melihat investasi yang besar dan juga belum bisa melihat jauh ke depan dengan investasi tersebut. Mereka hanya ingin melihat cashflow. Ada produk, langsung jual. Mungkin memang dikarenakan budaya Indonesia yang memang seperti itu adanya. Mereka juga tidak bisa melihat aset virtual seperti yang dimiliki Facebook (userbase), bahkan mungkin mereka belum tahu Facebook dapat duitnya dari mana saja dan berapa jumlahnya. Hanya orang yang berpikiran jauh ke depan yang bisa melihat potensi dari dunia digital. Tetapi, apabila orang Indonesia bisa melihat potensi ini, maka akan lebih banyak lagi startup-startup yang menarik hadir di Indonesia.

Saya melihat di Indonesia banyak sekali ecommerce yang berjualan pakaian, elektronik, dll. Mungkin ini karena pasarnya di Indonesia sangat besar dan juga yang paling penting adalah “uangnya bisa langsung diterima”. Artinya cashflow-nya ada. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan hal ini, malah ini jauh lebih baik ketimbang membangun startup untuk bersaing dengan perusahaan raksasa seperti Facebook dan Google. Permasalahan di Indonesia itu masih banyak sekali, alangkah lebih baik jika kita bisa memulai untuk menyelesaikan masalah-masalah ini. Di sinilah adalah peluang-peluang bertebaran.

Berbeda dengan Indonesia, permasalahan di Amerika hampir semuanya sudah dipecahkan. Teknologi yang ada sudah sangat canggih. Macet? Di Amerika jarang macet karena harga untuk membeli mobil dan bensinnya tergolong mahal. Jadi orang Amerika lebih suka menggunakan transportasi umum. Sistem pembayaran? Orang Amerika biasa memakai kartu kredit untuk pembayaran, ini tentu sangat berbeda dengan orang Indonesia dimana masih sedikit orang yang menggunakan kartu kredit. Bahkan di Amerika muncul sistem pembayaran baru, yaitu Coin. Coin ini digunakan untuk menggabungkan semua kartu kredit yang anda punya ke dalam satu kartu. Dalam pemecahan masalah, Amerika sudah mencapai ke tahap advanced yang jauh di atas Indonesia. Setiap satu masalah yang berhasil dipecahkan, maka timbul lah masalah baru yang bisa diselesaikan lagi dan menjadi peluang bagi orang yang peka terhadap masalah baru ini. Sedangkan Indonesia baru saja memulai. Ini terlihat dengan hadirnya sistem pembayaran seperti Doku, Veritrans, iPaymu, dan masih banyak lagi. Perusahaan-perusahaan yang bisa menyelesaikan masalah yang besarlah yang bisa mendatangkan banyak uang nantinya.

Sumber : startupbisnis.com


0 Response to "Interview Bersama Benny Tjia : Mulai Dari Ia Bekerja di Startup Silicon Valley Hingga Mendirikan "

Post a Comment