Aksa Machmud, pendiri Grup Bosowa, menyebutkan, ia tidak terpaku pada kebiasaan harus dari mana. Ia berangkat dari intuisi dan pengalaman berbisnis. Kalau harus memulai dari awal, ia mulai dari awal, seperti pabrik Semen Bosowa di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Kalau tidak perlu dari
awal, ia bisa masuk di tengah jalan.
Usahawan besar yang berangkat dari bawah ini acap membeli perusahaan yang macet atau sakit parah. Perusahaan itu ia ”obati”, ia rawat penuh ketekunan, lalu ia beri ”makanan sehat” dan vitamin, sehingga perusahaan tersebut sembuh dan meraup keuntungan. Jadilah Aksa salah satu usahawan besar di Indonesia. Ia di antaranya menjadi produsen semen, perkebunan, perikanan, perdagangan, dan lembaga keuangan.
Sudhamek Agoeng dari Grup Tudung pernah menyatakan tidak mudah mendirikan perusahaan baru, apalagi kalau perusahaan itu berskala besar. Maka, ia tidak menabukan membeli perusahaan yang sudah jalan, atau perusahaan yang tampak tidak menguntungkan. Perusahaan yang berkinerja kurang itu ia benahi, sampai meraup profit. Ia pun puas saat berhasil.
Apa menariknya mengakuisisi perusahaan di tengah jalan? Sudhamek menyatakan, perusahaan seperti itu sudah terbentuk, jaringannya sudah ada, begitu pula orangnya dan organisasinya. Ketika masuk, ia tinggal ”menyetel” dan menyesuaikan perusahaan itu sesuai dengan visi dan misinya.
Sejumlah usahawan Indonesia agaknya juga tertarik dengan langgam akuisisi seperti ini. Membuat perusahaan baru, menurut usahawan di bidang jasa Mohammad Syukur, cukup merepotkan. Harus membangunnya dari nol, merekrut pegawai, membangun jaringan pasar, melatih pegawai, dan sebagainya. Kalau akuisisi, lebih baik, kendati bukan berarti tidak merepotkan. Akuisisi juga berarti membeli persoalan rumit yang menyungkup perusahaan yang diakuisisi. Namun, di sinilah seninya, perusahaan itu bisa disetel sesuai visi dan keinginan pemilik baru perusahaan.
Terlepas dari semua aspek itu, kalau direnungkan semua hal termasuk akuisisi dan membeli saham perusahaan yang tengah berkibar, ujungnya adalah modal yang cukup. Djarum kini berkibar di antaranya karena membeli sebagian besar saham Bank Central Asia saat krisis ekonomi. Djarum kini meraih laba bersih bertriliun rupiah dari BCA. Namun, ketika membeli saham tersebut, Djarum mengeluarkan dana yang tidak kecil.
Chairul Tanjung juga demikian. Usahawan yang berangkat dari bawah ini mampu membeli saham dalam jumlah signifikan pelbagai perusahaan besar, misalnya Carrefour, di antaranya karena memiliki modal besar. Akan tetapi, di samping punya kapital besar, Chaerul didukung nyali, visi bisnis jauh ke depan. Kaya saja tidak cukup, perlu keberanian.
Referensi : Kompas.com
0 Response to "Kaya Saja Tidak Cukup, Perlu Keberanian Dalam BIsnis"
Post a Comment