Startupbisnis.com ; Kevin Osmond adalah nama yang sudah tidak asing di telinga para pemain industri teknologi atau dunia startup. Kevin merupakan seorang serial entrepreneur yang telah lama menekuni dunia startup dan berhasil membangun beberapa perusahaannya sendiri sejak ia menyelesaikan kuliahnya di bidang computer science. Sebagian besar dari anda pasti sudah mengetahui startup yang telah dibangun oleh Kevin beserta teman-temannya, seperti FIMELA, Bouncity, Tiket, Weekend Inc, hingga yang terbaru ini adalah Printerous.
Dalam sesi interview dengan tim Startupbisnis kali ini, kita akan belajar dan membahas perjalanan seorang Kevin Osmond dalam meraih kesuksesannya membangun suatu perusahaan. Dalam tulisan di bawah ini, anda akan mendapatkan beberapa insight yang mendalam tentang perjalanan Kevin membangun kesuksesan FIMELA, penyebab kegagalan Bouncity, awal mula berdirinya Tiket dan kenapa Kevin memutuskan keluar dari Tiket untuk mendirikan Weekend Inc dan Printerous, dan masih banyak lagi pelajaran yang bisa anda serap dari perjalanan Kevin dalam membangun beberapa perusahaannya. Semua terangkum lengkap dalam tulisan di bawah ini.
Pekerjaan pertama yang tidak terlupakan
Bermula dari hobi coding, desain, dan membuat website sejak tahun 1999, Kevin memutuskan untuk kuliah di Binus (Bina Nusantara) dengan jurusan computer science. Pekerjaan pertama yang ia geluti sebagai web developer adalah ketika ia praktek kerja di suatu perusahaan IT yang cukup terkemuka di tahun 2005, yaitu PLASMEDIA. “Dengan bekerja di perusahaan seperti ini, saya mendapatkan banyak pembelajaran mengenai alur dari bisnis web development. Selama bekerja, saya rajin bertanya dengan berkeliling ke setiap unit kerja di perusahaan ini, seperti bagian desain, sales, dan web development,” ungkap Kevin.
Selain itu, Kevin juga pernah bekerja di Kamar Dagang dan Industri Perancis dimana ia mengungkapkan bahwa kerjaannya di sana mirip dengan “kuli IT.” Yang dimaksud “kuli IT” ini adalah ia mengerjakan banyak hal dalam satu waktu, seperti memperbaiki jaringan internet, memperbaiki printer, bikin web, mendesain brosur, dan masih banyak lagi. “Ini adalah kenangan yang cukup lucu karena hanya ada satu orang yang mengerti tentang IT dalam perusahaan itu,” kata Kevin sambil tertawa mengingat masa-masanya dulu kala itu. Namun, setelah tiga bulan bekerja, ia memutuskan berhenti dari kerjaan ini Karena ia ingin fokus untuk menyelesaikan skripsi.
Membangun perusahaan pertama saya, AITINDO!!
Setelah lulus pada tahun 2005, bersama ketiga teman kuliahnya, Kevin mendirikan AITINDO, yaitu perusahaan yang melayani jasa web development. Dengan berkantor di lantai 3 dari suatu warnet milik kakak Kevin, mereka berempat mulai menangani berbagai projek pengembangan website, termasuk salah satu projek awal yang hanya bernilai Rp10 juta tapi dikerjakan selama 3-4 bulan lamanya.
“Ini adalah kesalahan kami karena pada waktu itu kami belum memiliki pengalaman kerja yang memadai, jadi projek yang seharusnya bisa diselesaikan dalam waktu cepat menjadi molor hingga 4 bulan,” ungkap Kevin.“Tapi di sinilah kami belajar dari beberapa kesalahan kami bahwa kami harus bekerja sebagai orang yang professional,” tambahnya.
Singkat cerita, sekitar tahun 2009, Kevin dan temannya (Raymon) diajak bergabung ke Magnivate untuk menangani suatu unit bisnis tertentu. Magnivate adalah digital agency yang melayani jasa online advertising, online marketing, dan sosial media. Setelah bekerja di sini kurang lebih satu tahun dan memahami seluk beluk online marketing dan sosial media, Raymon kembali ke AITINDO untuk mengembangkan perusahaan ini menjadi digital agency juga, sedangkan Kevin bersama Ben Soebiakto (CEO Octovate Group) mendirikan FIMELA pada akhir tahun 2010.
Perusahaan selanjutnya, FIMELA!!
Apa yang melatarbelakangi Kevin ikut serta mendirikan FIMELA sebagai CTO perusahaan media online khusus wanita ini?
Selain karena diajak oleh Ben, ternyata pada tahun 2008 Kevin pernah membangun FILMOO, suatu situs yang fokus membahas tentang review pada suatu film, singkatnya adalah IMDB (Internet Movie DataBase) versi Indonesia.
Diakui oleh Kevin, di masa awal FILMOO berhasil menarik traffic yang besar dari para penikmat film beserta blogger-blogger yang sering me-review suatu film, baik film lokal maupun internasional. FILMOO pun sering ikut serta dalam acara festival film lokal seperti FFI (Festival Film Indonesia). FILMOO juga mendapatkan banyak endorse dari para artis dan sutradara seperti Joko Anwar, The Moo Brothers, dan Sherina Munaf. Dengan bantuan endorse ini, server FILMOO sempat hang kerena tidak mampu menampung traffic dalam jumlah besar yang masuk pada hari pertama peluncuran website ini.
Joko Anwar, salah satu sutradara bertalenta di Indonesia mengucapkan terima kasih dan menunjukkan rasa bahagia atas berdirinya FILMOO karena tidak ada website di Indonesia yang pada waktu itu fokus membahas film-film kecuali FILMOO.
Kesuksesan FILMOO memang cukup cepat dan luar biasa, namun kenapa hingga detik ini kita tidak pernah mendengar namanya lagi?
Itu semua disebabkan karena FILMOO tidak berhasil mempertahankan masa-masa kejayaan mereka. Menanggapi hal ini, Kevin menjelaskan, “FILMOO bisa dibilang cukup sukses di masa awalnya, tetapi dikarenakan kami hanya mempunyai tim penulis namun tidak mempunyai tim marketing & sales , tim yang bisa mendatangkan traffic ke website dan menghasilkan kami uang, dan juga karena kami tidak fokus, masa operasional FILMOO hanya bisa bertahan selama satu tahun,” jelas Kevin.
Dengan pengalaman inilah ia belajar tentang bagaimana menjalankan bisnis media online dengan benar, lalu di penghujung tahun 2010 ia diajak oleh Ben Soebiakto untuk membangun FIMELA.
Bagaimana FIMELA bisa menjadi salah satu media online khusus wanita yang terbesar di Indonesia
FIMELA dibangun dengan visi untuk menjadi media online khusus wanita nomor satu di Indonesia. Kevin mengatakan bahwa bagian yang kuat pada FIMELA bukanlah jumlah traffic, melainkan sales dan konten. Walaupun FIMELA tidak mempunyai jumlah traffic setinggi Detik, tapi revenue yang dihasilkan perusahaan ini setiap tahunnya tidak bisa dikatakan rendah.
Dengan menawarkan konten yang berkualitas tinggi dan tertarget (khusus wanita), banyak brand yang berlomba-lomba untuk menawarkan kerjasama dengan FIMELA, mulai dari operator seperti Telkomsel dan Indosat hingga brand yang khusus menjual produk wanita seperti Sunsilk, Ponds, dan masih banyak lagi.
Menurut Kevin, “brand sekarang sudah tidak lagi mencari masa dalam jumlah yang banyak untuk beriklan, mereka lebih mementingkan kualitas dibanding kuantitas. Dengan menawarkan segmentasi yang sangat tertarget pada kaum wanita, FIMELA bisa menarik banyak brand untuk diajak kerja sama. Itulah yang membuat kami besar seperti sekarang,” pungkasnya.
Darimana saja FIMELA menghasilkan uang?
Selain dari iklan di website, perusahaan media online ini menghasilkan uang salah satunya adalah dari event tahunan, yaitu “FIMELA Fest” yang biasanya diadakan di beberapa mall besar di Jakarta. Event ini terdiri dari bazaar, talkshow, dan musik, yang semuanya khusus dipersembahkan untuk kaum wanita. Sudah bisa dipastikan bahwa banyak brand yang tergoda untuk bekerja sama dengan FIMELA dalam event yang dihadiri ribuan wanita setiap tahunnya ini.
Dalam mengekspansi bisnisnya, FIMELA tidak ingin menjadi media yang hanya mengandalkan jumlah traffic sebagai nilai jualnya ke pasar. Perusahaan ini selalu mencoba menawarkan asset mereka yang lain selain jumlah traffic, sebut saja email blast. Dengan memiliki ratusan ribumember, FIMELA juga bisa melakukan email blast kepada seluruh member mereka untuk menawarkan produk dari brand yang bekerja sama dengan perusahaan ini.
Intinya, FIMELA selalu menjunjung tinggi kualitas dibanding kuantitas. Dan inilah salah satu faktor kenapa Kapanlagi Network tertarik untuk melakukan merger dengan FIMELA Group pada beberapa bulan yang lalu. Dengan merger ini, sekarang ada 15 website dibawah naungan Kapanlagi Network (10 website) dan FIMELA Group (5 website). Jika mereka semua ditotalkan, maka traffic yang masuk setiap harinya sudah mencapai ratusan juta.
Hemat.com, situs daily deals yang kiprahnya tidak begitu terdengar di pasar
Setelah FIMELA bisa berjalan lancar, Kevin beserta temannya mencoba peruntungan baru dengan mendirikan situs daily deals yang bernama hemat.com yang bekerjasama dengan Kapanlagi.com. Tapi sayangnya, situs ini hanya bisa berjalan sebentar sebelum Kevin dan temannya pergi meninggalkan bisnis ini. Sesuai dengan pernyataan yang dilontarkannya, “kami menghentikan operasional situs ini karena pada waktu itu kami menyaksikan bahwa Disdus telah diakuisisi oleh Groupon dan DealKeren telah diakuisisi LivingSocial yang mana ini membuat kami kehilangan hasrat untuk meneruskan operasional bisnis ini,” ungkap Kevin.
Ia menambahkan bahwa hemat.com telah bekerja sama dengan hampir 50 merchant sebelum mereka meninggalkan bisnis ini. Sekarang hemat.com masih tetap berjalan di bawah naungan Kapanlagi Network.
Lahirnya Bouncity
Kiprahnya dalam membangun startup tidak hanya sampai di sana, pada pertengahan tahun 2011 Kevin bersama ketiga temannya membangun Bouncity. Menurut Kevin, “Bouncity termasuk ide yang cukup nekat karena kami ingin mengikuti jejak kesuksesan Foursquare di Amerika dan Negara lainnya. Bouncity adalah aplikasi mobile mirip dengan Foursquare tetapi dengan penambahan fitur yang beda, yaitu game,” ujarnya. Dikembangkan sejak awal tahun 2011 dan diluncurkan di @atamerica pada bulan Juni 2011 untuk Blackberry dan mobile, pengguna Bouncity pada hari pertama langsung meledak ke angka hampir 20.000 pengguna. Dan bisa dipastikan bahwa tim teknis kewalahan menghadapi hal ini.
Pada acara peluncuran ini, ada sekitar 40 media yang hadir untuk meliputi kehadiran Bouncity. Dan tidak membutuhkan waktu yang lama, Bouncity akhirnya di-invest oleh seorang angel investor yang merupakan orang yang sama yang berinvestasi di Tiket.com
Setelah berjalan selama satu tahun, akhirnya Bouncity di-acquhire oleh Qeon. Ketika diakuisisi ini, pengguna Bouncity sudah mencapai angka 300.000 yang tersebar di Blackberry, Android, dan iOS dengan pendapatan sebesar Rp300 juta yang berasal dari satu klien yang merupakan perusahaan minuman nasional.
Perlu anda ketahui bahwa sekitar tiga bulan setelah peluncuran Bouncity, ide untuk mendirikan Tiket.com akhirnya muncul dan keempat founder Bouncity beserta investornya lebih memilih untuk fokus membesarkan Tiket ketimbang Bouncity.
Alasan kenapa Bouncity gagal
Bagi anda sedang yang mendirikan startup, mungkin kisah dari Bouncity ini bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua agar ke depannya bisa menghindari kesalahan yang sama. Berikut saya jabarkan satu persatu:
1. Pendiri Bouncity terdiri dari empat orang, yaitu Kevin Osmond, Wenas (CEO Tiket), Dimas (Co-founder Tiket), dan Jeffrey Anthony (CTO Qeon). Sedangkan pendiri Tiket ada tujuh orang yang mana empat orang dari Bouncity dan tiga orang lagi memang dedikasi di Tiket, mereka adalah Natalie Ardianto (CTO Tiket), Richard Fang (Co-Founder Tiket), dan Gaery Undarsa (Co-Founder Tiket).
Sebagai orang yang mendirikan Bouncity, empat orang yang telah disebutkan di atas harus memilih antara Bouncity dan Tiket, yang akhirnya mereka berempat memilih untuk fokus ke Tiket.
Jadi alasan pertama kenapa Bouncity gagal adalah karena para founder-nya lebih memilih untuk fokus pada Tiket ketimbang Bouncity.
2. Alasan kedua adalah penetrasi smartphone dan internet yang masih rendah. Ini membuat Bouncity sebenarnya belum siap untuk hadir di Indonesia. Hal ini tentu sangat berbeda dengan sekarang dimana penetrasi smartphone yang tinggi dan internet dengan mudah bisa kita dapat.
3. Alasan ketiga dan terakhir adalah karena adanya “paket BB gaul” di Blackberry. Dengan lebih dari 80% pengguna Bouncity berasal dari Blackberry, paket ini membuat mayoritas pengguna Blackberry memilih untuk menggunakan “paket BB gaul” yang memungkinkan penggunaan sosial media dan BBM tanpa jaringan internet. Dengan hilangnya jaringan internet di BB, ini menunjukkan bahwa tidak ada penggunaan Bouncity dan ini adalah salah satu faktor terbesar kenapa Bouncity gagal. “Sebenarnya Blackberry menghancurkan konten mereka sendiri dengan penawaran ‘paket gaul’ ini,” ungkap Kevin dengan kecewa.
Menanggapi hal ini pihak Blackberry mengatakan bahwa sebenarnya kehadiran “paket BB gaul” adalah untuk mendorong pengguna Blackberry agar mereka mau meng-upgrade ke “paket full internet,” tapi ternyata kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Pengguna Blackberry malah lebih betah menggunakan “paket gaul” dibanding “paket full internet.”
Apa yang bisa dipelajari dari berdirinya Tiket
Setelah Bouncity di-acquhire oleh Qeon, tepatnya satu tahun setelah Bouncity berdiri dan enam bulan setelah Tiket berdiri, Kevin pun memutuskan untuk keluar dari Tiket, ia menjelaskan, “Saya memutuskan untuk keluar karena saya merasa bahwa saya masih ingin menciptakan sesuatu yang baru dimana saya masih memiliki kontrol penuh pada bisnis itu,” jelasnya. “Di Tiket, dengan total 7 orang founder, saya tidak merasa bebas melakukan apa yang saya inginkan, inilah yang menjadi alasan saya memutuskan untuk keluar dari Tiket,” tambah Kevin.
Menurutnya, Tiket adalah suatu perusahaan dengan bisnis model yang jelas dan scalable. “Ada banyak pelajaran yang saya bisa dapat selama ikut membangun Tiket, termasuk kemampuan untuk menangkap peluang dengan cepat dan implementasi yang tepat, tanpa kedua ini, Tiket tidak akan bisa menjadi besar seperti sekarang,” ungkap Kevin.
Salah satu faktor utama kenapa Kevin beserta pendiri lainnya membangun Tiket adalah mereka melihat bahwa Indonesia adalah Negara kepulauan yang memiliki potensi besar di ranah pariwisata nantinya. Indonesia adalah Negara yang terdiri dari ribuan pulau, ini menunjukkan bahwa tiket penerbangan ataupun kereta api pasti sangat dibutuhkan bagi konsumen untuk menjangkau tempat jauh yang ingin mereka datangi.
Faktor lainnya yang membuat mereka semakin yakin untuk membangun Tiket adalah masuknya Air Asia ke Indonesia dimana penjualan tiket maskapai penerbangan asal Malaysia ini 100% berasal dari penjualan online. Data ini langsung mematahkan pendapat yang menyatakan bahwa Indonesia belum siap dengan dunia online dan juga data ini memperkuat kenyataan bahwa dunia online adalah masa depan Indonesia.
Inilah kenapa ketujuh founder Tiket berani mendirikan perusahaan yang menjual tiket dalam bentuk digital secara online. Dalam hal benchmarking, Tiket memang meniru bisnis model Expedia.com yang sudah lebih maju. Tapi walaupun meniru bisnis model perusahaan lain, eksekusi berbumbu lokal yang tepat tetap menjadi faktor utama berjalannya suatu bisnis atau tidak.
Ide boleh saja bersumber dari luar, tapi dalam hal implementasi tetap harus memperhatikan target pasar yang ingin diincar. Think Globally, Act Locally – Kevin Osmond
Kehidupan setelah Tiket
Setelah Kevin memutuskan keluar dari Tiket pada pertengahan tahun 2012, ia bersama beberapa temannya termasuk Richard Fang mendirikan studio desain website dan mobile yang bernamaWeekend Inc. Walaupun hanya didanai dengan kantong sendiri, pertumbuhan perusahaan ini bisa dibilang sangat cepat dan menunjukkan hasil yang gemilang karena hanya dalam dua tahun, Weekend Inc sudah memiliki sekitar 30 orang karyawan dan menghasilkan pendapatan miliaran rupiah setiap tahunnya yang mana sebagian besar klien mereka merupakan perusahaan publik dari berbagai industri besar seperti industri airline, rokok, bank, dan retail.
Dengan mematok harga setiap projek sebesar ratusan juta rupiah, tidak heran pendapatan studio desain ini mencapai miliaran rupiah setiap tahunnya. Kevin mengatakan, “jika dibanginkan dengan studio desain lain, harga satu projek buatan kami memang termasuk mahal, tapi dengan menawarkan kualitas yang tinggi, kami rasa harga kami sesuai dengan kualitas yang kami berikan kepada klien-klien kami,” kata Kevin.
Ketika ditanyai kenapa ia membangun Weekend Inc yang pada dasarnya adalah bisnis yang menyediakan layanan pembuatan website, Kevin menjawab, “sebenarnya, saya ingin membangun suatu startup dengan produk yang nyata yang bisa menyelesaikan masalah banyak orang, tapi pada waktu itu kami ingin membangun bisnis yang sustainable terlebih dahulu sebelum saya memutuskan untuk membangun startup yang baru lagi,” jawab Kevin mengenai alasan kenapa ia membangun Weekend Inc.
Lalu, ia melanjutkan bahwa terhitung pada bulan Agustus kemarin, ia menyatakan bahwa ia sudah keluar dan tidak ikut campur lagi dalam operasional sehari-hari Weekend Inc, artinya Kevin sudah keluar sepenuhnya dari Weekend Inc. Ia mengatakan, “terhitung pada bulan Agustus kemarin, saya sudah keluar dari Weekend Inc untuk fokus menjalankan Printerous yang sebelumnya merupakan startup sampingan yang saya bangun ketika masih ikut menjalankan Weekend Inc di akhir tahun 2012. Dengan melihat perkembangan Printerous sekarang, saya yakin Printerous mempunyai masa depan yang cerah,” kata Kevin dengan yakinnya.
Tapi tentu meninggalkan kenyamanan di Weekend Inc untuk mencoba sesuatu yang baru lagi bukanlah keputusan yang gampang diambil bagi seorang Kevin yang baru saja menjadi ayah dan memiliki keluarga.
Hidup cuma sekali, lakukanlah apa yang menurutmu yang paling pantas untuk dilakukan
Jangan biarkan kenangan indah anda berlalu begitu saja dengan Printerous
Printerous adalah platform yang menyediakan layanan dimana anda bisa mengedit dan menyetak foto Instagram anda ke dalam bentuk canvas, album foto, sticker, dan magnet lalu hasilnya akan dikirim ke rumah anda. Yang perlu anda lakukan hanya mengunjungi website-nya, daftar dengan akun Instagram anda lalu pilih foto mana saja yang ingin anda edit, cetak, dan pajang di rumah anda setelah barangya sampai. Printerous memungkinkan anda untuk menyimpan kenangan indah anda dalam bentuk nyata yang bisa anda lihat dan rasakan kapanpun.
Kevin mengatakan bahwa Printerous adalah bisnis yang sangat sesuai dengan passion-nya pada teknologi dan juga desain. Pada awalnya, Printerous hanyalah bisnis sampingan yang sama sekali tidak dipasarkan, tapi setelah menyaksikan bahwa ada lebih dari 7.000 customer yang telah memesan produk Printerous, Kevin semakin yakin bahwa Printerous adalah bisnis yang bisa diterima pasar dan sustainable. Printerous juga sudah membukukan pendapatan sekitar Rp30-40 juta setiap bulannya.
Tapi, sesuai dengan pengakuannya, ia mengatakan, ”memutuskan untuk fokus penuh pada Printerous bukanlah hal yang mudah karena pada awalnya kami tidak begitu yakin apakah bisnis ini bisa berjalan atau tidak, kami masih membutuhkan validasi pasar” ungkap Kevin. Pada dasarnya, saat ini Printerous memudahkan pencetakan foto dari Instagram dengan kualitas bahan yang tinggi tanpa kerumitan layaknya pencetakan foto di suatu digital printer atau studio foto di dekat rumah anda. Tapi masalah terbesarnya adalah apakah customer mau mengedit dan mencetak foto mereka sendiri melalui layanan yang disediakan Printerous di website? Inilah yang menjadi pertimbangan besar Kevin terhadap bisnis ini.
Namun, dengan semangat mencobakannya langsung ke pasar dan membangun MVP (Minimum Viable Product) yang jelas, ternyata Printerous bisa diterima baik oleh konsumen. Saat ini, Printerous sudah memiliki lebih dari 7.000 follower di akun Instagram mereka. Jika anda melakukan pencarian dengan hashtag #printerous di Instagram, anda akan mendapati bahwa ada lebih dari 1.000 user yang telah menyampaikan testimonial positif mereka terhadap Printerous. Ini semua bisa didapat oleh Printerous tanpa promosi sama sekali. Ribuan customer inilah yang menghidupi Printerous yang saat ini hanya memiliki tujuh orang karyawan.
0 Response to "Perjalanan Seorang Kevin Osmond Sebagai Serial Entrepreneur Sejati (Part1)"
Post a Comment