Kemelut di Negeri Sendiri Menjadi Guyonan Bangsa Lain




Masyarakat Barat sejak abad ke-16 sudah membudayakan kegiatan keberaksaraan (literacy) yakni membaca dan menulis. Akibatnya, peradaban mereka maju dengan pesat dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks). Satu hal yang menonjol dalam masyarakat Barat adalah individualisasi.

Masyarakat terpecah-pecah dalam sejumlah individu-individu yang sedikit sekali menunjukkan koherensi, kebersamaan, solidaritas, apalagi kegotongroyongan. Akhirnya, terjadi gejala alienasi (keterasingan), kehilangan solidaritas, dan kebersamaan. Hubungan kausal segala aspek dan gejolak itu mudah ditentukan. Namun demikian, budaya keberaksaraan (membaca dan menulis) merupakan faktor yang sangat esensial dalam seluruh proses individualisasi ini.

Individualisasi dalam masyarakat Indonesia masih mengalami hambatan. Hal ini disebabkan oleh
adanya budaya keseragaman. Kemampuan untuk melahirkan pemikiran yang berbeda seringkali memperoleh ganjaran keterasingan bahkan dikucilkan. Saat ini disinyalir masih suburnya iklim keseragaman di sekolah-sekolah bahkan sampai tingkat perguruan tinggi sekalipun.

Berdasarkan hasil penelitian, masyarakat intelektual di tengah era informasi modern sekarang, ia harus dapat menyerap informasi sebanyak 820.000 kata perminggu apabila ia ingin mempertahankan prestasi dan prestisenya di tengah perubahan global. Dengan demikian, minimal setiap hari ia harus membaca antara 4—6 jam. Seorang penulis tentu saja harus melakukan kegiatan membaca seperti itu, sehingga ia memiliki bahan tulisan yang banyak dan bervariasi.

Salah satu kendala yang dihadapi pengembangan ilmu di Indonesia adalah kecilnya jumlah dan rendahnya mutu karya ilmiah yang diterbitkan orang setiap tahun. Produktivitas buku atau majalah-majalah ilmiah di negara kita tidaklah sepadan dengan jumlah ilmuwan atau cendekiawan yang ada, serta sangat tidak seimbang dengan jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan. Hubungan antara penulis, penerbit, dan pembaca merupakan segi tiga tertutup bertimbal balik, seringkali menjadi lingkaran setan bila salah satu di antaranya tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Steve Snyder, pernah membaca empat belas buku dalam suatu penerbangan antara Los Engeles dan Sidney, Australia. Dengan menggunakan teknik yang dikembangkannya, ia biasanya membaca 3 atau 4 buku fiksi ataupun nonfiksi dalam satu malam. Kecepatan membacanya lima ribu kata permenit.

Kedengarannya ini cepat sekali, namun menurutnya ini kecepatan yang biasa (jogging speed). Kecepatan sprint-nya sekitar sepuluh ribu kata permenit. Ketika Ia mulai bersekolah di kelas satu, ia telah membaca empat ratus buku, termasuk novel-novel Mark Twain, Jules Verne, dll. (DePorter danHernacki, 1999:269).

Lalu bagaimana dengan kita ? Menurut Magnesen (Dryden dan Vos, 2000) kita belajar 10% dari apa yang kita baca, 20% dari apa yang kita dengan (simak), 30% dari apa yang kita lihat, 50% dari apa yang kita lihat dan dengar, 7)% dari apa yang kita katakan, dan 90% dari apa yang kita katakan dan lakukan.

Membaca dan menulis hakikatnya prilaku untuk melihat, menyimak, mengatakan, dan melakukan. Betapa pentingnya lingkungan (budaya) dalam membentuk iklim ilmiah, para behavioris bahkan mempercayai bahwa 90% aktivitas manusia diilhami oleh lingkungannya.

Artinya, apabila guru tidak memberikan atmosfer yang baik untuk tumbuhnya dunia menulis, tidak mungkin lahir para penulis dari kalangan siswa (mahasiswa). Untuk bisa menjadi masyarakat akademik yang literat, kampus haruslah memiliki budaya membaca dan menulis.

Sumber: Netsains

0 Response to "Kemelut di Negeri Sendiri Menjadi Guyonan Bangsa Lain"

Post a Comment