Perjalanan Seorang Kevin Osmond Sebagai Serial Entrepreneur Sejati (Part 2)

Perkembangan ekosistem startup Indonesia saat ini

Startupbisnis.com ; Kevin sejenak teringat ketika ia bersama Bouncity menghadiri acara Echelon yang diselenggarakan oleh e27.co sekitar tahun 2011 dimana ada banyak startup Indonesia yang meramaikan acara tersebut. Sekitar tahun ini juga menurut Kevin banyak startup lokal yang bermunculan. “Tahun 2011 merupakan tahun yang dipenuhi oleh startup asal Indonesia, ada yang masih berjalan sampai sekarang dan ada yang sudah mati, tapi entah kenapa dalam satu tahun terakhir ini tidak banyak startup Indonesia yang terdengar di telinga saya, apakah mereka bergerak under the radar atau mungkin mati, saya tidak tahu,” ujarnya.
Namun secara keseluruhan ekosistem startup di Indonesia sudah semakin maju. Itu ditandai dengan banyaknya investor asing masuk ke Indonesia, penetrasi internet yang semakin tinggi, media yang banyak meliput, dan pasar yang sedang berkembang. Tapi walaupun ekosistemnya kondusif, hanya sedikit startup Indonesia yang bisa meraih sukses.
Menanggapi kasus ini, Kevin menyarankan bagi founder supaya tidak kemakan hype yang dipenuhi cerita-cerita sukses dan kisah pendanaan hingga ratusan miliar rupiah untuk membangun startup. Ia mengatakan, “Menjalankan startup itu bukan pekerjaan yang gampang, saya sering menemukan anak muda yang kemakan kisah sukses yang membuat mereka bercita-cita untuk membangun startup biar dibilang keren, padahal startup itu adalah bisnis, dan bisnis haruslah menghasilkan uang, ini bukanlah permainan.”
Kevin memang benar, seharusnya anak muda itu bercita-cita membangun perusahaan yang sukses dan besar, bukan membangun startup yang notabene adalah perusahaan baru yang hidupnya masih belum jelas.

Penyebab rendahnya jumlah entrepreneur startup sukses di Indonesia

1. Kurangnya mentor
Sebagai anak muda yang mau atau sedang membangun startup, Kevin menyarankan sebaiknya anda segera mencari mentor yang sesuai dan bisa membantu membangun bisnis anda ke depannya.  “Dulu ketika saya mulai berbisnis, saya tidak memiliki mentor, alhasil saya harus mempelajari segala sesuatu yang dibutuhkan sendiri. Saya berharap bisa mendapatkan mentor sedari dulu karena mentor bisa membimbing dan mempercepat kita dalam mencapai kesuksesan membangun perusahaan,” kata Kevin. Selain itu, anda juga perlu bergabung ke dalam komunitas atau mungkin incubator yang benar-benar berdedikasi tinggi untuk membantu para partisipannya dalam membesarkan startup mereka.
Tapi di sisi lain, Kevin merasa sedikit kecewa melihat bahwa ada beberapa incubator yang tidak berdedikasi penuh membantu startup yang bergabung dengan mereka. Incubator ini hanya menampilkan beberapa daftar mentor yang sukses dan cukup terkenal di website mereka tanpa ada bentuk praktek mentorship yang nyata. Kevin melanjutkan bahwa sebenarnya mereka bukanlah “mentor” dalam artian sebenarnya, mereka adalah orang sukses yang suka berbagi pengalaman dalam berbisnis atau berbagi mengenai kemampuan dan keahlian mereka dalam waktu yang sebentar, yaitu sekitar dua jam.
Sedangkan mentor adalah sosok yang berdedikasi untuk membantu murid mereka dalam mencapai kesuksesan berbisnis atau hal apapun lainnya. Contoh incubator yang berdedikasi penuh menurut Kevin adalah Founder Institute dimana entrepreneur yang bergabung di sana memang diberikan pembelajaran yang mendalam, tugas, mentorship, dan juga dipersiapkan untuk pitching ke investor. “Beginilah seharusnya suatu incubator itu berjalan,” tegas Kevin.
Indonesia adalah negara yang penuh dengan talenta-talenta berkualitas tinggi, tapi jika mereka tidak dibimbing oleh orang yang benar, perjuangan mereka untuk menjadi entrepreneur akan memudar karena tidak ada orang yang bisa membantu mereka. Dan pada akhirnya talenta mereka akan dipakai lagi untuk bekerja kepada orang lain, yaitu orang asing.
2. Rendahnya kepercayaan investor lokal kepada startup lokal
Melihat pertumbuhan ekosistem startup di Indonesia memang mengagumkan, tapi sayangnya sebagian besar startup di Indonesia yang terbilang sukses sebenarnya dimiliki oleh investor asing, padahal VC (Venture Capital) di Indonesia sudah mulai bermunculan, tapi hanya sedikit yang berani berinvestasi pada startup buatan lokal.
“Saya melihat bahwa investor asing jauh lebih aktif dalam berinvestasi pada bisnis internet di Indonesia dibanding investor lokal. Investor asing bisa melihat potensi yang besar ke depannya, sedangkan investor lokal tidak,” kata Kevin. “Investor lokal lebih mementingkan ‘kapan saya balik modal?’ Sedangkan investor luar melihat jauh ke depan, mereka melihat potensi yang besar, dan mereka sadar bahwa tidak semua investasi itu akan berhasil. Ujung-ujungnya yang saya takutkan adalah perusahaan internet Indonesia sebagian besar dimiliki perusahaan asing,” tambahnya.
Ini merupakan dilema yang dihadapi para founder, di satu sisi, mereka tidak mempunyai pilihan lain untuk membesarkan perusahaan kecuali harus menerima dana dari pihak asing, dan di sisi lain investor lokal tidak mau menaruh dana mereka pada startup lokal karena takut mereka tidak akan balik modal dan mereka tidak percaya dengan kemampuan founder tersebut.
3. “Pembajakan” talenta dari perusahaan asing
Dengan berlimpahnya talenta berkualitas tinggi di Indonesia, ini merupakan lahan emas bagi perusahaan asing untuk “membajaknya.” Gaji seorang fresh graduate yang bekerja sebagaiengineer di Singapore bisa mencapai $3.000 setiap bulannya. Ini adalah perbedaan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan gaji engineer di perusahaan Indonesia. Dengan penawaran gaji setinggi ini, otomatis orang yang bertalenta ini memilih untuk bekerja di Singapore dan pada akhirnya Indonesia akan terkenal sebagai negara penyedia human capital.
Kevin menerangkan bahwa penawaran gaji sebesar ini tentu merusak pasar gaji di Indonesia dimana jumlah gaji seorang engineer yang baru lulus mungkin baru dikisaran Rp5-8 juta per bulan. Ini membuat startup-startup di Indonesia mengalami kesusahan dalam mencari talenta yang hebat karena telanta yang dicari itu sudah kabur untuk bekerja di perusahaan asing yang bisa menawarkan gaji di atas rata-rata.
Ini adalah penyebab lain kenapa startup lokal tidak bisa besar dan bersaing dengan startup asing.
Kurangnya dana investasi juga membuat masalah ini semakin membesar. Sekarang, anggap saja startup anda mendapatkan seed funding sebesar Rp100-200 juta. Uang ini mungkin hanya bisa bertahan selama 3-6 bulan sebelum anda harus kembali mencari investor untuk mendanai startup anda ke tahap selanjutnya, dan ini bukanlah pekerjaan yang mudah.
Ini adalah masalah yang harus dipikirkan jalan penyelesaiannya oleh para founder dan investor karena untuk menjaga seorang engineer secara finansial anda membutuhkan banyak uang (lain halnya jika anda mau menawarkan mereka saham), namun di sisi lain investor lokal tidak mau mengucurkan banyak uang kepada anda, dan pada akhirnya anda akan mendapatkan uang dari investor asing lagi. Tidak lama lagi, jika hal masalah ini tidak segera diselesaikan, sebagian besar perusahaan internet Indonesia akan dimiliki oleh pihak asing.
Tapi, apabila founder memiliki kemampuan yang hebat dan kemauan yang sangat kuat, Kevin yakin investor lokal pasti mau diajak untuk menanamkan modal mereka kepada founder tersebut.
investor

Cara menemukan ide untuk membangun startup

“Ide bisnis itu murah, eksekusinya yang mahal,” mungkin sebagian besar dari anda pasti sudah sering mendengar kata-kata bijak tersebut. Pada dasarnya, ide untuk mendirikan startup memang cukup gampang didapat, anda bisa mencarinya dari masalah yang anda rasakan sekarang, atau juga bisa meniru ide bisnis yang telah berjalan di luar negeri, khususnya Amerika. Industri teknologi Indonesia tertinggal 8-10 tahun jika dibandingkan dengan Amerika, jadi ini merupakan salah satu peluang bagi anda dalam menemukan bisnis model yang tepat, yaitu dengan meniru bisnis model yang telah berjalan di negara lain dan menerapkannya di Indonesia.
Tapi, apakah meniru ide bisnis luar dan menerapkannya secara lokal itu pasti akan berhasil? Maaf, Tidak selalu.
Kurang lebih ini lah yang dilakukan Kevin saat ia mendirikan FILMOO (situs review film seperti IMDB). Dengan menonjolkan slogan “ini buatan lokal” atau “ini versi lokal dari IMDB” kepada investor, ternyata hasilnya tidak seperti yang ia harapkan. Menurutnya, ini adalah cara pendekatan yang salah. Ia menyarankan, “dalam menerapkan ide bisnis itu tidak cukup hanya meniru dari bisnis yang sudah berjalan di negara lain. Anda juga harus tetap fokus pada solving problem. Dalam kasus ini, saya menggunakan cara yang salah dalam mendekati investor dengan mengatakan kepada mereka bahwa saya membuat IMDB versi lokal yang sebenarnya ini bukanlah masalah yang dihadapi orang Indonesia,” ungkap Kevin. Ia mengakui bahwa ada dua aspek yang membuat FILMOO bisa sedikit bertahan lama, yaitu tulisan yang berbahasa Indonesia dan interview dengan para pemain film lokal. Jika membandingkan kecepatan review film internasional dengan IMDB, tentulah FILMOO kalah jauh.
Lagi, jika anda merupakan salah satu orang yang sedang meniru bisnis model luar dan mau menerapkannya secara lokal di Indonesia, solving problem tetap menjadi hal yang utama. Percuma saja anda membuat Facebook versi lokal untuk menargetkan pasar orang Indonesia dengan embel-embel “buatan anak negeri” atau “versi lokal” jika pada dasarnya anda tidak menyelesaikan masalah siapapun.
Tetaplah fokus pada penyelesaian masalah seperti apa yang dilakukan Kevin pada Printerous. Dengan meniru bisnis model ShutterFly yang layanannya belum tersedia di Indonesia, ditambah dengan modifikasi untuk menyesuaikan dengan pasar Indonesia, Printerous terbukti bisa berjalan hingga detik ini.

Sudahkah bisnis anda tervalidasi?

Sebagai pesan terakhir, Kevin sangat menganjurkan bagi anda yang sedang membangun bisnis untuk memvalidasi bisnis anda karena ia sering menemukan orang yang selalu mengatakan bahwa bisnis mereka adalah yang pertama di Indonesia. “Perlu disadari bahwa sebagai manusia, pengetahuan kita terbatas, kita tidak tahu apa yang terjadi di luar pengetahuan kita, jadi kita harus selalu memvalidasi ide bisnis dari waku ke waktu, apakah bisa diterima di pasar atau tidak,” tegas Kevin. Dari validasi ini anda akan tahu kemana anda ingin membawa bisnis anda ini nantinya. Validasi juga memungkinkan anda untuk mempelajari keunggulan dan kelemahan para pesaing anda. Dari validasi, ada banyak pembelajaran yang bisa anda ambil sebelum anda membangun bisnis secara serius.
Validasi ini lah yang terus Kevin lakukan pada Printerous. Hingga saat ini Printerous sudah memiliki lebih dari 7.000 customer tanpa marketing dengan omset perbulan dikisaran Rp30-40 juta dimana 20% dari porsi omset berasal dari customer yang berada di Singapore. Kevin mengatakan bahwa sekarang ia sedang sibuk berurusan dengan investor untuk mengembangkan sayap Printerous yang dalam waktu dekat akan mulai masuk ke pasar Asia Tenggara.
Let’s Hope for The Best to Kevin Osmond!!

0 Response to "Perjalanan Seorang Kevin Osmond Sebagai Serial Entrepreneur Sejati (Part 2)"

Post a Comment